BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui berkaitan
dengan proses pembelajaran. Proses belajar ini dipengaruhi beberapa faktor dari
dalam seperti motivasi dan faktor luar berupa sarana informasi yang tersedia
serta keadaan sosial budaya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003). Pengetahuan merupakan hasil dari proses mencari
tahu, dari yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak dapat menjadi
dapat. Dalam proses mencari tahu ini mencakup berbagai metode dan konsep –
konsep, baik melalui proses pendidikan maupun melalui pengalaman, Notoadmodjo (2005). Pengetahuan merupakan
hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap
suatu obyek
tertentu. Pengindraan,
indra pendengaran, indra penciuman, indra peraba, dan indra perasa. Pengetahuan juga merupakan domain yang sangat
penting untuk terbantuknya tindakan
seseorang. Orang yang tahu disebut mempunyai pengetahuan dan pengetahuan itu
tidak lain adalah dari hasil tahu seseorang, karena pengetahuan merupakan salah satu aspek
perilaku yang menunjukan kemampuan seseorang
untuk mengetahui apa yang dilakukan dan bagaimana melakukannya. Pengetahuan ini akan menunjukan kemampuan
seseorang untuk mengerti dan menggunakan kemampuan terhadap segala sesuatu yang
telah dipelajari (Staton,1997).
Pengetahuan harus
sesuai dengan aspek obyek yang diketahui jika orang tidak tahu akan salah satu
aspek dari obyeknya, ia
belum lengkap pengetahuannya. Orang
yang hendak tahu memang harus sadar dan
kesadaran itu harus ada, bahkan
mutlak bagi pengetahuan, karena
yang tidak sadar tentu tidak tahu. Aristoteles membagi ilmu pengetahuan menjadi
3 kelompok besar yang meliputi a) Ilmu
pengetahuan teoritis yaitu, pengetahuan yang hanya mempunyai tujuan demi
pengetahuan itu sendiri; b) Ilmu pengetahuan praktis yaitu, pengetahuan hanya
bertujuan demi tingka laku atau mendorong aktivitas; c) Ilmu pengetahuan
produktif yaitu, pengetahuan yang bertujuan demi kegunaan atau keindahan, kebenaran. Dari pembagian tersebut yang
penting adalah bahwa orang memusatkan perhatiannya bukan pada masalah-masalah
teoritis melainkan pada penarikan manfaat bagi kesejahteraan manusia. Dengan
kata lain yang diutamakan adalah penerapan pengatahuan tersebut untuk
menyelesaikan persoalan (problem solving)
sehingga untuk dapat mencapai tingkat tersebut harus melalui
tahapan-tahapan untuk mencapai tingkat pengetahuan yang optimal.
Beberapa tingkat
pengetahuan menurut Notoatmodjo (2005) yaitu Tahu (Know), memahami (Comprehension),
Aplikasi (Aplication), Analisis (Analysis), Sintesis dan evaluasi. Tahu
diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah di pelajari sebelumnya. Termasuk
dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recal) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini
merupakan tingkat pengetahuan yang rendah. Setelah seseorang tahu atau
mengingat akan suatu materi tentunya harus memahaminya agar dapat
menginterprestasikannya secara tepat dan benar. Memahami diartikan sebagai
suatu kemampuan
untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat
menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Suatu obyek yang telah di
pelajari tentunya perlu untuk di aplikasikan
secara baik dan benar pula sehingga apa yang telah di pahaminya juga
dapat di ketahui oleh orang lain. Aplikasi dapat diartikan sebagai kemampuan
untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi
sebenarnya (real). Pada tahap
selanjutnya dari tingkat pengetahuan adalah menganalisis apa yang telah di
pelajarinya sehingga dapat diukur tingkat pemahaman akan suatu obyek. Analisis diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam satu struktur
organisasi tersebut dan masih ada kaitan satu sama lain. Pada tahap selanjutnya
adalah tahap sintesis dimana menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakan
atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi-formulasi
yang ada. Pada tahap terakhir dari semua tahapan di atas adalah melakukan
evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan jusfikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu
kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang ada.
Dalam pencapaian
pengetahuan tentunya tidak terlepas dari adanya faktor-faktor pendukung sehingga
seseorang bias menjadi tahu dari yang sebelumnya tidak tahu. Menurut Notoatmodjo (2007), ada beberapa
faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu Pendidikan, informasi,
social budaya dan ekonomi, lingkungan kerja, pengalaman/masa kerja serta usia.
Pendidikan adalah suatu usaha untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan
berlangsung seumur hidup. Pengetahuan
sangat erat kaitannya dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan
semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seorang yang
perpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. Pendidikan juga bias didapatkan melalui
Informasi yang di peroleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat
memberikan pengaruh jangka pendek (immediate
impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Kebiasan
tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran apakah yang
dilakukan baik atau buruk juga dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang, dengan demikian seseorang akan bertambah
pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan
menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu,
sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi ekonomi seseorang. Lingkungan
juga berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada
dalam lingkungan tersebut. Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar
individu, baik lingkungan fisik , biologis, maupun social. Pengalaman /
masa kerja seseorang merupakan sumber
pengetahuan karena dengan pengalaman, seseorang bisa memperoleh
kebenaran
dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu.
Kreitner
dan Kinichi (2004) juga menyatakan bahwa masa kerja yang lama cenderung akan
lebih banyak memperoleh ilmu dalam
pekerjaannya.
Usia
mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah
usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya,sehingga
pengetahuannya yang diperolehnya semakin membaik.
Dari berbagai macam
cara yang telah digunakan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang
sejarah dapat dikelompokan menjadi dua, yakni :
a. Cara Memperoleh Kebenaran Nonilmiah
1.
Cara Coba Salah
(Trial and Error)
Cara memperoleh
kebenaran non ilmiah, yang pernah digunakan oleh manusia dalam memperoleh
pengetahuan adalah melalui cara coba coba atau dengan kata yang lebih dikenal
“trial and error”. Metode ini telah digunakan oleh orang dalam waktu yang cukup
lama untuk memecahkan berbagai masalah. Bahkan sampai sekarang pun metode ini
masih sering digunakan, terutama oleh mereka yang belum atau tidak mengetahui
suatu cara tertentu dalam memecahkan suatu masalah yang dihadapi. Metode ini
telah banyak jasanya, terutama dalam meletakan dasar-dasar mennemukan
teori-teori dalam berbagai cabang iilmu pengetahuan.
2.
Secara Kebetulan
Penemuan
kebenaran secara kebetulan terjadi karena tidak disengaja oleh orang yang
bersangkutan. Salah satu contoh adalah penemuan enzim urease oleh Summers pada
tahun 1926.
3.
Cara Kekuasaan
atau Otoritas
Dalam kehidupan
manusia sehari-hari, banyak sekali kebiasaan-kebiasaan dan tradisi-tradisi yang
dilakukan oleh orang, tanpa melalui penalaran apakah yang dilakukan tersebut
baik atau tidak kebiasaan seperti ini tidak hanya terjadi pada masyarakat
tradisional saja, melainkan juga terjadi pada masyarakat modern. Para pemegang
otoritas, baik pemimpin pemerintah, tokoh agama, maupun ahli ilmu pengetahuan
pada prinsipnya mempunyai mekanisme yang sama di dalam penemuan pengetahuan.
4.
Berdasarkan
Pengalaman Pribadi
Pengalaman
adalah guru yang baik, demikian bunyi pepatah. Pepatah ini mengandung maksud
bahwa pengalaman itu merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu
merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh karena itu
pengalaman pribadi pun dapat digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan.
Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam
memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu.
5.
Cara Akal Sehat
Akal sehat atau common sense kadang-kadang dapat
menemukan teori atau kebenaran. Sebelum ilmu pendidikan ini berkembang, para
orang tua zaman dahulu agar anaknya mau menuruti nasihat orang tuanya,atau agar
anak disiplin menggunakan cara hukuman fisik bila anaknya berbuat salah,
misalnya dijewer telinganya atau dicubit. Ternyata cara menghukum anak ini
sampai sekarang berkembang menjadi teori atau kebenaran, bahwa hukuman adalah
merupakan metode (meskipun bukan yang paling baik) bagi pendidikan anak.
Pemberian hadiah dan hukuman (reward and
punishment) merupakan cara yang masih dianut oleh banyak orang untuk
mendisiplinkan anak dalam konteks pendidikan.
6.
Kebenaran
Melalui Wahyu
Ajaran dan dogma
agama adalah suatu kebenaran yang diwahyukan dari Tuhan melalui para Nabi.
Kebenaran ini harus diterima dan diyakini oleh pengikut-pengikut agama yang
bersangkutan, terlepas dari apakah kebenaran tersebut rasional atau tidak.
7.
Kebenaran secara
Intuitif
Kebenaran secara
intuitif diperoleh manusia cepat sekali melalui proses diluar kesadaran dan
tanpa melalui proses penalaran atau berpikir. Kebenaran yang diperoleh melalui
intuitif sukar dipercaya karena kebenaran ini tidak menggunakan cara-cara yang
rasional dan yang sisitematis. Kebenaran ini diperoleh seseorang hanya
berdasarkan intuisi atau suara hati atau bisikan hati saja.
8.
Melalui Jalan
Pikiran
Sejalan dengan
perkembangan kebudayaan umat manusia, cara berfikir manusia pun ikut
berkembang. Dari sini manusia telah mampu menggunakan penalarannya dalam
memperoleh pengetahuannya. Dengan kata lain, dalam memperoleh kebenaran pengetahuan
manusia telah menggunakan jalan pikirannya, baik melalui induksi maupun
deduksi.
9.
Induksi
Induksi adalah
proses penarikan kesimpulan yang dimulai dari pernyataan-pernyataan khusus ke
pertanyaan yang bersifat umum. Proses berpikir induksi berasal dari hasil
pengamatan indra atau hal-hal yang nyata, maka dapat dikatakan bahwa induksi
beranjak dari hal-hal yang konkret kepada hal-hal yang abstrak.
10. Deduksi
Deduksi adalah
pembuatan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan umum yang ke khusus. Aristoteles
(384-322SM) mengembangkan cara berpikir deduksi ini ke dalam suatu cara yang
disebut “silogisme”. Silogisme merupakan suatu bentuk deduksi berlaku bahwa
sesuatu yang dianggap benar secara umum pada kelas tertentu, berlaku juga
kebenarannya pada semua peristiwa yang terjadi pada setiap yang termasuk dalam
kelas itu
b.
Cara Ilmiah
dalam Memperoleh Pengetahuan
Cara baru atau
modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih sistimatis, logis dan
ilmiah. Cara ini disebut „metode penelitian ilmiah‟, atau lebih popular disebut
metodologi penelitian (research
methodology). Cara ini mula-mula dikembangkan oleh Francis Bacon
(1561-1626). Ia mengatakan bahwa dalam memperoleh kesimpulan dilakukan dengan
mengadakan observasi langsung, dan membuat pencatatan-pencatatan terhadap semua
fakta sehubungan dengan objek yang diamati. Pencatatan ini mencakup tiga hal
pokok yakni :
1)
Segala sesuatu
yang positif, yakni gejala tertentu yang muncul pada saat dilakukan pengamatan
2)
Segala sesuatu
yang negatif, yakni gejala tertentu yang tidak muncul pada saat dilakukan
pengamatan
3)
Gejala-gejala
yang muncul secara bervariasi, yaitu gejala-gejala yang berubah-ubah pada
kondisi-kondisi tertentu.
Pengukuran Pengetahuan
Menurut
teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo, (2007) bahwa perilaku seseorang atau
masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan
dan tradisi sebagai faktor predisposisi disamping faktor pendukung seperti
lingkungan fisik, prasarana atau faktor pendorong yaitu sikap dan prilaku petugas
kesehatan atau petugas lainnya.
Pengukuran pengetahuan menurut Arikunto (2006), dapat
dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang
ingin diukur dengan objek penelitian atau responden. Data yang bersifat
kualitatif di gambarkan dengan kata-kata, sedangkan data yang bersifat
kuantitatif terwujud angka-angka, hasil perhitungan atau pengukuran, dapat
diproses dengan cara dijumlahkan, dibandingkan dengan jumlah yang diharapkan
dan diperoleh persentase, setelah dipersentasekan lalu ditafsirkan kedalam
kalimat yang bersifat kualitatif.
1) Kategori baik yaitu menjawab benar
76%-100% dari yang diharapkan
2) Kategori cukup yaitu menjawab benar
56%-75% dari yang diharapkan.
3) Kategori kurang yaitu menjawab benar
<56% dari yang diharapkan.
2.
Kepatuhan
a.
Pengertian
Kepatuhan
berasal dari kata dasar patuh, yang berarti disiplin dan taat.
Menurut Adiwimarta, Maulana, & Suratman (1999) dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kepatuhan didefinisikan sebagai kesetiaan, ketaatan atau loyalitas. Kaplan dkk, (1997). Kepatuhan
adalah derajat dimana petugas kesehatan mengikuti prosedur kerja yang telah di
tetapkan. Menurut Sacket dalam Niven (2000) kepatuhan adalah sejauh mana
petugas kesehatan mengikuti prosedur kerja yang telah di tetapkan.
Heri P (1999) Kepatuhan merupakan
suatu bentuk perilaku. Perilaku manusia berasal dari dorongan yang ada dalam
diri manusia, sedang dorongan merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang ada
dalam diri manusia. Menurut
Smet (1994), kepatuhan adalah tingkat seseorang melaksanakan suatu cara atau
berperilaku sesuai dengan apa yang disarankan atau dibebankan kepadanya. Dalam
hal ini kepatuhan pelaksanaan prosedur tetap (protap) adalah untuk selalu
memenuhi petunjuk atau peraturan-peraturan dan memahami etika keperawatan di tempat
perawat tersebut bekerja.
b.
Klasifikasi
kepatuhan
Ghana
Syakira (2009) kepatuhan dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: patuh dan
tidak patuh. Seseorang dapat dikatakan patuh apabila melaksanakan tindakan
sesuai dengan ketentuan, sedangkan seseorang dikatakan tidak patuh apabila
melaksanakan tindakan tidak sesuai dengan ketentuan. Seseorang
patuh seringkali karena ingin menghindari hukuman/ sangsi jika dia tidak patuh, atau untuk
memperoleh imbalan yang dijanjikan jika dia mematuhi anjuran tersebut. Biasanya
perubahan yang terjadi pada tahap ini sifatnya sementara, artinya bahwa
tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan. Tetapi begitu pengawasan
itu mengendur /
hilang, perilaku itupun ditinggalkan. Kepatuhan individu yang berdasarkan rasa
terpaksa atau ketidakpahaman tentang pentingnya perilaku yang baru, dapat
disusul dengan kepatuhan yang berbeda jenisnya, yaitu kepatuhan demi menjaga
hubungan baik dengan tokoh yang menganjurkan perubahan tersebut (change agent).
c.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Kepatuhan
Menurut (Niven, 2008) faktor-faktor
yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah:
1) Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan dapat meningkatkan
kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif.
2) Akomodasi
Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian yang dapat
mempengaruhi kepatuhan.
3) Modifikasi faktor lingkungan dan
social
Hal ini berarti membangun dukungan
sosial dari keluarga dan teman-teman, kelompok-kelompok pendukung dapat
dibentuk untuk membantu kepatuhan terhadap suatu aturan ataupun prosedur
.Lingkungan berpengaruh besar pada kepatuhan seseorang karena lingkungan yang
harmonis dan positif akan membawa dampak yang positif pula, kebalikannya
lingkungan negatif akan membawa dampak buruk pada kepatuhan. Lingkungan adalah
segala sesuatu yang ada disekitar individu, baik lingkungan fisik \, biologis,
maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke
dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut.
4) Informasi
Informasi yang di peroleh baik dari
pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga menghasilkan
perubahan atau peningkatan pengetahuan
5) Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap suatu obyek tertentu, dari pengalaman dan penelitian
terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari
pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).
Menurut fungsinya pengetahuan merupakan dorongan dasar untuk ingin tahu, untuk
mencari penalaran, dan untuk mengorganisasikan pengalamannya. Adanya unsur
pengalaman yang semula tidak konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu
akan disusun, ditata kembali atau diubah sedemikian rupa, sehingga tercapai
suatu konsistensi. Semakin tinggi tingkat pengetahuan, semakin baik pula ibu
melaksanakan antenatal care (Azwar, 2007).
6) Usia
Usia adalah umur yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat akan berulang
tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih
matang dalam berpikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan, masyarakat yang lebih
dewasa akan lebih dipercaya daripada orang yang belum cukup tinggi tingkat
kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya.
Semakin dewasa seseorang, maka cara berfikir semakin matang dan teratur
melakukan antenatal care (Notoatmodjo, 2007).
7) Dukungan Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil
masyarakat yang terdiri atas 2 orang atau lebih, adanya ikatan persaudaraan
atau pertalian darah, hidup dalam satu rumah tangga berinteraksi satu sama
lain, mempertahankan satu kebudayaan (Effendy, 2006).
Nurbaiti (2007) mengemukakan kepatuhan
dapat di pengaruhi oleh faktor internal dan faktor external seperti usia,
pendidikan, pengetahuan dan masa kerja didukung oleh Notoatmodjo yang
mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah pendidikan, usia,
dan motivasi. Kepatuhan memiliki 5 karakteristik yaitu adanya kemampuan untuk
melakukan sesuai dengan yang diharapkan, fleksibel, adaptif, adanya pengaruh
orang lain, dan perilaku tambahan dari kepatuhan tersebut (Dunbar (1981).
Karakteristik kepatuhan yang
pertama bermakna adanya perilaku yang ditampilkan sesuai dengan yang diinginkan
oleh orang lain. Fleksibel bermakna adanya pengulangan perilaku yang diharapkan
sesuai dengan situasi yang ada. Adaptif dimaksudkan adanya kemampuan untuk
beradaptasi terhadap sesuatu yang baru, berbeda dan berubah dari yang
diharapkan. Sementara malleabilitas (malleability)
bermakna adanya pengaruh dari orang lain yang membuat kepatuhan terjadi.
Perilaku tambahan yang biasanya muncul adalah pengaruh hubungan dengan orang
lain.
d.
Variable kepatuhan
Menurut
Brunner (2002) Variabel Yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan
Beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan menurut Suddart dan
adalah:
a. Variabel demografi seperti usia,
jenis kelamin, suku bangsa, status sosio ekonomi dan pendidikan.
b. Variabel psikososial seperti
intelegensia, sikap tenaga kesehatan, penerimaan, atau penyangkalan prosedur
kerja, keyakinan agama atau budaya dan biaya financial dan lainnya yang
termasuk dalam mengikuti regimen hal tersebut diatas juga ditemukan oleh Bart Smet
dalam psikologi kesehatan.
e.
Derajat
Ketidakpatuhan Ditentukan oleh Faktor
Neil Niven (2002: 193), juga mengungkapkan derajat
ketidakpatuhan itu ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Kompleksitas sebuah prosedur
perawatan.
2. Derajat perubahan gaya hidup yang
dibutuhkan.
3. Lamanya waktu dimana seseorang harus
mematuhi program tersebut.
4. Apakah prosedur tersebut berguna
untuk pengembangan profesinya.
5. Apakah pelaksanaan prosedur itu
berpotensi menyenangkan pasien.
6. Pemahaman tentang intruksi. Tak
seorang pun dapat mematuhi intruksi jika ia salah paham tentang intruksi yang
diberikan kepadanya.
7. Kualitas Interaksi. Kualitas
interaksi petugas kesehatan terhadap
prosedur kerja merupakan bagian yang
penting dalam menentukan derajat kepatuhan.
8. Keyakinan, sikap dan kepribadian
f.
Strategi Untuk Meningkatkan
Kepatuhan
Menurut Smet (1994) berbagai strategi telah dicoba untuk
meningkatkan kepatuhan adalah :
1) Dukungan profesional kesehatan
Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untuk
meningkatkan kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal dukungan
tersebut adalah dengan adanya teknik komunikasi. Komunikasi memegang peranan
penting karena komunikasi yang baik diberikan oleh teman sejawat ataupun atasan
dapat menanamkan ketaatan bagi petugas kesehatan.
2) Dukungan social
Dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga. Para
profesional kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien untuk menunjang
peningkatan kesehatan pasien maka ketidakpatuhan dapat dikurangi.
3) Pemberian informasi
Pemberian
informasi yang jelas pada perawat akan suatu prosedur perawatan.
3.
Semen Ionomer Kaca
Semen ionomer kaca merupakan salah satu bahan
restorasi yang sering digunakan
karena material ini dianggap paling biokompatibel.
Bahan material yang pertama kali diperkenalkan oleh Wilson dan Kent pada tahun
1971 ini terdiri atas bubuk dan cairan, bubuknya berupa bubuk kaca fluoroaluminosilikat dan cairannya adalah asam poliakrilat. Semen
Ionomer Kaca adalah nama generik dari sekelompok bahan yang
menggunakan bubuk kaca silikat dan larutan asam poliakrilat. Bahan ini mendapatkan namanya dari
formulanya yaitu suatu bubuk kaca dan asam ionomer yang mengandung gugus
karboksil. Juga disebut sebagai
semen polialkenoat. Material ini mampu berikatan secara kimia dengan jaringan gigi, memiliki koefisien
termal sama dengan dentin, biokompatibel dan dapat melepas fluorida. Komponen
yang terkandung dalam bubuk kaca adalah: SiO2 (35,2-41,9%), Al2O3 (20,1-28,6%),
CaF2 (15,7-20,1%), Na3AlF6 (4,1-9,3%), AlF3(1,6-8,9%), dan AlPO4 (3,8-12,1%). Cairan terdiri dari: air dan asam poliakrilik
dengan konsentrasi 40-50% dan kadangkala ditambah asam maleik atau asam
fumarik.
Ada dua sifat utama Semen Ionomer Kaca yang menjadikan
bahan ini diterima sebagai salah satu bahan kedokteran gigi yaitu karena
kemampuannya melekat pada enamel dan dentin dan karena kemampuannya dalam
melepaskan fluorida.
Salah satu karakteristik dari Semen Ionomer Kaca adalah kemampuannya untuk
berikatan secara kimiawi dengan jaringan mineralisasi melalui mekanisme
pertukaran ion. Mekanisme perlekatan dengan struktur gigi terjadi oleh karena
adanya peristiwa difusi dan absorbsi
yang dimulai oleh ketika bahan berkontak dengan jaringan gigi. Semen ionomer
kaca menggabungkan kualitas adhesif dari semen zinc polikarboksilat dan dengan sifat melepas fluorida dari semen silikat.
Semen ionomer kaca merupakan salah satu bahan kedokteran gigi
yang perkembangannya menarik, Semen ionomer kaca merupakan bahan restorasi yang
paling terakhir
berkembang bahan ini merupakan bahan pertama yang paling praktis, sewarna
dengan gigi, dan beradhesi secara kimiawi pada email dan dentin. Karena bahan
ini berkaitan dengan ion kalsium jaringan gigi, ikatannya pada email lebih kuat
dibandingkan dengan ikatannya pada dentin, karena email merupakan jaringan yang
lebih banyak termineralisasi. Semen ionomer kaca mempunyai sifat penting yang
baik yakni mengeluarkan flour secara perlahan sehingga dapat memberikan
perlindungan terhadap karies sekunder, oleh karena semen ionomer kaca mempunyai
ikatan silang antar rantai-rantainya karena adanya polynion yang mempunyai berat molekul tinggi dan hal ini membantu
meningkatkan daya tahan semen terhadap pelarutan dalam suasana asam.
Semen ionomer kaca merupakan tipe semen lainnya yang lebih baru,
yang juga didasarkan pada asam poliakrilik adalah semen ionomer kaca. Karena sifat biologisnya yang baik dan
memiliki potensi
perlekatan ke kalsium yang ada di dalam gigi ( sama seperti system
polikarboksilat ), ionomer kaca terutama digunakan sebagai bahan restorative
untuk perawatan daerah erosi dan sebagai bahan penyemenan, juga dapat digunakan
sebagai basis walaupun bahan tersebut sangat sensitive terhadap air dan
membutuhkan daerah yang kering. Komposisi dan kimiawi semen ionomer kaca
tersebut adalah bubuk dan cairan, sesungguhnya cairan semen ionomer kaca merupakan larutan dari asam poliakrilat dalam
konsentrasi kira-kira 50%. Cairannya cukup kental dan cenderung membentuk
gel setelah beberapa waktu. Semen ionomer kaca mengandung air yang merupakan struktur paling penting, semen ionomer
kaca harus dilindungi dari perubahan air pada strukturnya. perlekatan semen
ionomer kaca dengan email lebih tinggi dibandingkan dengan dentin, karena email
berisi unsur anorganik lebih banyak dan lebih homogen dilihat dari segi morfologisnya
( Baum,1997).
Keunikan sifat
semen ionomer kaca adalah kemampuannya untuk berikatan dengan dentin dan email
secara kimia, dengan demikian bahan ini digunakan secara luas pada abrasi servikal tanpa harus melakukan preparasi kavitas, semen ionomer kaca dapat digunakan sebagai pada kavitas dengan dentin segar pelapik sebaiknya tetap diberikan, reaksi
minimal pulpa yang umum terjadi adalah akibat dari proses adhesi semen ke
jaringan gigi, adhesi ini sebenarnya mencegah kebocoran bakteri.
Kontaminasi saliva
dengan semen ionomer kaca selama penumpatan dan sebelum semen ionomner kaca
mengeras dengan sempurna sangatlah
berbahaya karena semen akan mudah larut dan daya adhesinya akan menyusut. Pada penumpatan dengan semen
ionomer kaca, kavitas harus diisolasi dengan sangat efektif dari kontaminasi saliva dan darah, sejak dentin sehat telah terbuka selama
preparasi, dianjurkan untuk memberi
semen pelapik seperti yang diuraikan pada amalgam, namun tanpa pemberian pernis compalite karena bahan ini akan
mengurangi daya adhesi semen terhadap email dan dentin. Warna semen disesuaikan
dengan warna gigi dengan mengacu pada pemandu warna yang telah disediakan dalam
kemasan, tuangkan bubuk dan cairan dalam jumlah yang tepat diatas kertas pengaduk, pencampuran semen
dilakukan dengan menggunakan spatula baik dengan menambahkan jumlah bubuk yang
tepat ke dalam cairan atau menambahkan bubuk inkramen demi inkramen ke dalam cairannya sampai mendapatkan konsistensi seperti dempul / pasta yang teksturnya halus.
Campuran semen
harus ditumpatkan dengan secepat mungkin dan secara inkramen demi inkramen
sampai seluruh aspek kavitas terisi tanpa menimbulkan gelembung udara, kelebihan
tumpatan, diukir dengan ekscavator
atau scaler sabit tajam selama tumpatan masih dapat diukir biasanya dalam
periode beberapa menit setelah insersi. Tepi restorasi harus ditutupi dengan
dua lapisan pernis untuk mencegah kontaminasi kelembaban, sebab semen dalam masa-masa awalnya sangat peka terhadap larutan. Untuk mendapat restorasi yang tahan lama, ada
beberapa kondisi yang harus dipenuhi, termasuk diantaranya preparasi permukaan
kavitas yang benar untuk mendapatkan ikatan yang baik, pengadukan yang benar untuk
mendapatkan adukan yang bisa dimanipulasi, dan penyelesaian serta perlindungan permukaan selama
pengerasan semen.
Semen Ionomer Kaca meraih popularitas karena kelebihan sifatnya dapat melepas fluor yang
sangat berperan sebagai antikaries. Dengan adanya bahan tambal ini, resiko
kemungkinan untuk terjadinya karies sekunder di bawah tambalan jauh lebih kecil
dibanding bila menggunakan bahan tambal lain. Semen Ionomer Kaca
juga bersifat Biokompatibilitas terhadap jaringan sangat baik (tidak
menimbulkan reaksi merugikan terhadap tubuh) serta material ini melekat dengan baik ke struktur
gigi karena mekanisme perlekatannya adalah secara kimia yaitu dengan pertukaran
ion antara tambalan dan gigi. Oleh karena itu, gigi tidak perlu diasah terlalu
banyak seperti halnya bila menggunakan bahan tambal lain. Pengasahan perlu
dilakukan untuk mendapatkan bentuk kavitas yang dapat memegang bahan
tambal.
Dibalik kelebihannya Semen Ionomer Kaca juga mempunyai
kekurangan. Kekurangan dari bahan ini yang sering terjadi adalah kekuatannya lebih rendah bila dibandingkan bahan tambal lain, sehingga tidak
disarankan untuk digunakan pada gigi yang menerima beban kunyah besar seperti
gigi molar (geraham), warna tambalanya lebih opaque, sehingga dapat dibedakan
secara jelas antara tambalan dan permukaan gigi asli, serta tambalan
ini lebih mudah aus dibanding tambalan lain.
4.
Atraumatic
Restorative Treatment
Atraumatic
Restorative Treatment adalah suatu teknik penanganan
kerusakan gigi / excavasi lubang hanya dengan hand instrument (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1995). Teknik
penumpatan gigi hanya menggunakan hand
instrument (Atraumatic Restorative
Treatment Set) pada karies
gigi yang masih dangkal (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1996). Atraumatic Restorative Treatment merupakan perawatan penambalan gigi tanpa banyak
menimbulkan trauma pada gigi, rasa sakit maupun psikologis trauma. Bahan tambal
yang digunakan biasanya semen ionomer kaca, dan menurut penelitian perawatan
ini lebih disukai karena sedikit menimbulkan trauma, serta hasilnya cukup
memuaskan karena hanya dengan satu kali kunjungan serta harganya pun lebih
terjangkau karena tidak menggunakan sarana listrik. Karies gigi hanya dibersihkan dan dikeruk bagian dentin
yang rusaknya saja, dan selanjutnya bahan tambalan semen ionomer kaca
diaplikasikan kedalam lubang gigi. Karakteristik semen ionomer kaca ini adalah
daya alir ( flow rate ) yang tinggi sehingga
bisa mengisi ruang dalam kavitas (Alkhayam,2007)
dan (Andavasari,
2005).
Atraumatic
Restorative Treatment merupakan prosedur pembuangan
jaringan gigi yang terkena karies dan penumpatan dengan bahan adhesif. Atraumatic Restorative
Treatment adalah bagian dari perawatan minimal
intervensi, yang merupakan metode tata cara perawatan gigi yang berusaha untuk
mengontrol perkembangan lesi karies. Pada dasarnya terdiri dari penyingkiran
jaringan karies dan pengisian kavitas dengan bahan adhesif yang tepat berkaitan
dengan prinsip preventif dan edukasional. Bahan restorasi Semen Ionomer Kaca
diindikasikan untuk Atraumatic Restorative Treatment dikarenakan
kemampuan adhesinya dan sifat melepas fluorida sama baiknya seperti mekanisme setting kimiawinya sehingga perawatan
ini dianjurkan untuk daerah-daerah yang kurang memadai infrastrukturnya.
Minimal intervensi pada kedokteran gigi
didefinisikan sebagai suatu perawatan terhadap karies dengan mengambil jaringan
gigi yang terdemineralisasi saja dan mengarah kepada pemeliharaan sturktur gigi
yang sehat sebanyak mungkin. Sebuah metode baru dengan prinsip minimal
intervensi dalam merawat karies gigi yang diperkenalkan pada pertemuan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam Hari Kesehatan Sedunia tahun 1994.
Pendekatan ini disebut sebagai “Atraumatic Restorative Treatment” (ART).
Atraumatic
Restorative Treatment pada
awalnya berkembang untuk digunakan pada negara yang kurang berkembang dimana
perawatan gigi secara lengkap tidak tersedia.
Atraumatic Restorative Treatment merupakan bagian dari minimal intervensi
meliputi komponen restoratif dan preventif terdiri dari pembersihan kavitas
gigi secara manual dengan instrumen tangan dan merestorasinya dengan bahan
adhesif yang mampu melepaskan fluorida seperti semen ionomer kaca.
Keuntungan Atraumatic Restorative
Treatment lainnya seperti
terpeliharanya struktur jaringan gigi yang sehat berkaitan dengan ikatan
kimiawi dari Semen Ionomer Kaca
serta tanpa adanya pengeboran sehingga dapat meminimalisir rasa sakit dan
penggunaan anestesi lokal. Berkaitan dengan sifat-sifat tersebut beberapa orang
yang hidup di daerah berkembang bisa mendapatkan perawatan gigi dan mulut
dengan Atraumatic Restorative Treatment.
Atraumatic
Restorative Treatment diaplikasikan
untuk perawatan preventif
dan kuratif dalam satu prosedur kerja. Atraumatic Restorative Treatment
menggunakan instrumen tangan daripada handpiece elektrik, sehingga mengurangi rasa sakit yang berarti mengurangi
kebutuhan terhadap anestesi lokal untuk meminimalisir trauma psikologis
terhadap pasien. Atraumatic Restorative Treatment memelihara jaringan
gigi yang sehat dan tidak menimbulkan banyak trauma.
Alat–alat
yang di gunakan untuk perawatan Atraumatic Restorative
Treatment :1. Alat genggam standar seperti kaca mulut, sonde, pinset
dan excavator. 2. Dental Hatchet
hoe dan pahat email berfungsi
untuk melebarkan kavitas dan mengangkat email yang tidak sehat, 3. Applier /
Carver, 4. Mixing pad dan spatula, 5. Plastik filling instrument dan carver, 6. Untuk klas II perlu matriks dan baji.
5. Prosedur
Atraumatic
Restorative Treatment
1.
Menurut (
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995 ) prosedur Atraumatic Restorative
Treatment adalah sebagai berikut :
a.
Persiapan
tempat untuk pasien
b.
Persiapan
bahan dan alat tambalan
c.
Persiapan
dalam mulut dengan mempertahankan daerah operasi tetap kering
d.
Preparasi
lubang gigi, dengan cara jaringan karies dibersihkan dengan excavator sampai
tidak ada lagi dentin yang lunak, lalu bersihkan dan keringkan kavitas.
e.
Setelah
preparasi selesai pasien diinstruksikan untuk oklusi dengan maksud untuk
melihat kontak lubang
f.
Bersihkan
lubang gigi / pit dan fisurre dengan dentin
conditioner
g.
Bersihkan
lubang dengan cotton pelet yang
dibasahi air
h.
Penumpatan
gigi.
Disaat
melakukan penumpatan, kavitas harus tetap dalam keadaan kering lalu campurkan
bahan semen ionomer kaca yang telah disiapkan sesuai dengan prosedur lalu
masukkan bahan pengisi kedalam lubang, pit dan fisurre dengan carver dengan
tekanan ringan.
i.
Tekan
dengan jari
j.
Buang
bahan yang berlebihan
k.
Tutuplah
dengan varnish
l.
Periksalah
gigitan
m.
Dianjurkan
pasien untuk tidak dipakai makan lebih kurang 1 jam
2. Menurut
Drg. Irene Adyatmaka
a. Preparasi
1.
Isolasi : Kapas gulung mengabsorbsi saliva mempertahankan
gigi tetap kering
2.
Hilangkan plak dengan menggunakan butiran kapas
3.
Eksplorasi dengan sonde memastikan karies
4.
Gunakan hatchet
untuk mencari jalan masuk
5.
Putar hatchet untuk memperbesar jalan masuk
6.
Gunakan excavator untuk mengerok jaringan karies
Batas pengerokan
dilakukan dengan pendekatan biologik, yaitu sebatas zona bakteri dan destruksi
dentin, bentuk dan luas pengerokan tergantung lesi karies
7.
Bersihkan kavitas dengan kapas basah
8.
Keringkan dengan kapas kering
b. Conditioning
1. Lakukan conditioning dengan conditioner, dapat
pula dengan liquid yang mengandung asam poli-akrilat karena tanpa conditioning
ada “smear layer” yang dapat
mengganggu ikatan bahan tambalan dengan dentin. Conditioning
membersihkan ”smear layer“, menjamin
ikatan semen ionomer kaca dengan dentin
lebih baik. Conditioning memperkuat ikatan
bahan tambalan dua kali lipat
2. Bersihkan kavitas
dengan kapas basah dan lakukan sedikitnya tiga kali bilas
3. Keringkan dengan
kapas kering
c. Dispensing
1.
Buka botol powder
2.
Buka “seal botol powder, pembatas plastik jangan di buka !
3.
Tutup kembali botol
4. Kocok botol
agar konsistensi powder homogen, lalu ketukkan di telapak
tangan agar powder tidak tercecer di penutup botol
5.
Takar powder
sesendok peres dan pastikan bahwa senduk powder bersih. Gunakan pembatas
plastik untuk memeres
6.
Taruh takaran powder pada paper - pad
7.
Bagi powder menjadi dua bagian
8.
Tutup kembali botol karena powder bersifat
hygroskopis
9.
Buka tutup botol cairan dan pastikan pipet botol bersih
lalu miringkan pipet botol secara perlahan agar gelembung udara tidak terjebak
dalam pipet botol dan posisikan botol dengan pipet botol menghadap ke bawah.
10.
Teteskan satu tetes cairan. Tetes pertama digunakan sebagai conditioner
11.
Posisikan kembali botol dengan pipet botol menghadap ke bawah. Teteskan satu tetes cairan dengan tetap pada posisi itu, teteskan tetes kedua, sebagai cairan
12.
Powder dan cairan siap diaduk
d. Mixing
1.
Ratakan cairan selebar kancing
2.
Aduk dengan setengah bagian powder, gerakan mengaduk
sirkular
3. Aduk dengan setengah
bagian powder, gerakan mengaduk rotasi sekitar 10-15 detik
4. Aduk keseluruhan
powder hingga diperoleh konsistensi seperti pasta antara 15-20 detik
e. Placement
1.
Masukkan semen kedalam kavitas secara bertahap hingga penuh. dalam waktu sekitar
30 detik
2.
Ratakan semen melalui dua pendekatan yaitu :
1. Tekan dengan
jari kesegala arah
2. Dengan aluminium foil dengan mengigit foil menurut oklusi
3.
Potong sisa semen dengan carver
4.
Periksa oklusi / gigitan
5.
Oleskan varnis ke permukaan gigi
f. Instruksikan pasien agar tidak dipakai makan pada
gigi yang ditambal selama satu jam setelah penambalan
B. Kerangka Konsep
Faktor kepatuhan:
1. Imbalan
2. Hukuman
3. Pengawasan
4. Kesadaran
|
Latar belakang
pendidikan:
1.SPRG
2.Akademi
|
Kepatuhan perawat gigi terhadap prosedur
Atraumatic Restorative Treatment
|
Tingkat pengetahuan perawat gigi tentang Semen Ionomer Kaca
|
Variabel Bebas Variabel
Terikat
Keterangan :
= Variabel yang diteliti
= Variabel yang tidak diteliti
BAB
III
METODE
PENELITIAN
A. Jenis
Penelitian
Dalam penelitian
ini, jenis penelitian yang dipilih adalah jenis penelitian deskriptif yaitu
untuk menggambarkan tentang pengetahuan perawat gigi tentang semen ionomer kaca
serta kepatuhan prosedur Atraumatic
Restorative Treatment dalam praktek keperawatan gigi pada puskesmas di Kota Kupang.
B.
Lokasi Penelitian
Lokasi dari penelitian ini adalah puskesmas se-Kota Kupang.
C.
Populasi dan Sampel
1.
Populasi
Yang menjadi populasi
dalam penelitian ini adalah semua perawat gigi yang bekerja di poliklinik gigi pada puskesmas di Kota Kupang yang berjumlah 26 orang.
2.
Sampel
Berdasarkan
prosedur pengambilan sampel, dilihat dari jumlah populasi maka teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik total sampling, dimana sampel yang diambil adalah jumlah seluruh populasi yang ada yaitu 26 orang, (Arikunto, 2006).
D.
Variabel Penelitian
Variabel Bebas : Tingkat pengetahuan perawat gigi tentang
semen ionomer kaca
Variabel Terikat : Kepatuhan perawat gigi terhadap prosedur Atraumatic Restorative Treacment
E.
Definisi Operasional
1.
Pengetahuan adalah pemahaman perawat gigi di Kota
Kupang tentang semen ionomer kaca.
2.
Kepatuhan adalah ketaatan perawat gigi di Kota
Kupang terhadap prosedur Atraumatic Restorative Treacment.
F.
Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Kuesioner
(daftar pertanyaan)
Kuesioner ini dibuat
untuk menilai tingkat pengetahuan perawat gigi (Responden) tentang glass ionomer semen dan disusun sendiri oleh
peneliti yang terdiri dari dua puluh satu butir pertanyaan. Apabila responden menjawab
benar, diberi skor “1”, dan jika menjawab salah, diberi skor “0”. Skor
tertinggi yang dapat diperoleh responden adalah 21 dan skor terendah adalah 0.
Pengetahuan perawat gigi
dikatakan “rendah” jika rentang nilai yang diperoleh 0-6, “sedang”, jika
rentang nilai yang diperoleh 7-13, “baik”, jika rentang nilai yang diperoleh
14-21.
2.
Daftar tilik untuk menilai kepatuhan perawat gigi (Responden) terhadap prosedur Atraumatic Restorative
Treatment (ART)
dan disusun sendiri oleh
peneliti yang terdiri dari dua puluh delapan butir penilaian. Apabila responden
melakukan prosedur, diberi skor “1”,dan jika responden tidak melakukan prosedur,
diberi skor “0”. Skor tertinggi yang dapat diperoleh responden adalah 28 dan
skor terendah adalah 0.
Prosedur Atraumatic Restorative Treatment dikatakan
“rendah” jika rentang nilai yang diperoleh 0-9, “sedang”, jika rentang nilai
yang diperoleh 10-19, “baik”, jika
rentang nilai yang diperoleh 20-28.
G.
Analisa Data
Analisa data yang akan digunakan dalam pengolahan
data adalah analisa deskriptif kualitatif. Setelah data dikumpulkan maka
data-data tersebut diseleksi untuk mengetahui kelengkapannya, kemudian
data-data tersebut diolah dan dimasukan dalam tabel distribusi frekuensi secara
manual dengan alat bantu komputer.
H. Jalannya Penelitian
1.
Persiapan
a.
Memberikan
surat ijin penelitian kepada puskesmas di
Kota Kupang .
b.
Persiapan
daftar pertanyaan (kuesioner) yang akan diisi oleh responden dan daftar tilik yang akan di isi oleh peneliti sendiri.
2.
Pelaksanaan
a) Pengisian daftar pertanyaan (kuesioner) oleh responden.
b) Pengisian daftar tilik oleh peneliti.
3.
Pengolahan data dan penyusunan proposal
a.
Data primer
Data primer diperoleh melalui :
1)
Kuesioner yang telah diisi oleh responden.
2)
Pengisian daftar tilik oleh peneliti sendiri
mengenai penerapan prosedur Atraumatic Restorative
Treatment.
b.
Data sekunder
Data yang diperoleh melalui literatur-literatur dan sumber
lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu tentang prosedur Atraumatic Restorative
Treatment.
Daftar Pustaka
Adyatmaka,I.,
2000, Training course Performance
Logic Intercountry centre
for oral health Chiangmai, Thailand.
Anusavice, K. J., 2004, Philips
Buku Ajar Ilmu Kedokteran Gigi Edisi 10, EGC,
Jakarta.
Anoraga, P. 1993, Psikologi Dalam Perusahaan, Rieka Cipta, Jakarta.
Arikunto,S.,2010,
Prosedur Penelitian, PT.Rineka Cipta,
Jakarta.
Arikunto,S.,2006,
Prosedur Penelitian, PT.Rineka Cipta,
Jakarta.
Baum
dkk,1997, Buku Ajar Ilmu Konservasi Gigi
Edisi III, EGC, Jakarta.
Davidovich,E,.dkk.,
2007, Surface
antibacterial properties of glass ionomer cements used in atraumatic
restorative treatment,
JADA (138) : 1347-1352.
Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1990/1991, Pedoman
Kerja Puskesmas, Jakarta.
Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1995, Pedoman
Kerja Puskesmas, Jakarta.
Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1996, Pedoman
Kerja Puskesmas, Jakarta.
Depdikbud.
2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.
Frencken,E.J.,
1997, Manual for Atraumatic Restorative Treatment Approach To Control Dental
Caries, WHO CC OH SR, Groningen.
Indonesia
Dental Nurse Assosiation, 2009, Peraturan
Perundang-Undangan Tentang Perawat Gigi Indonesia, Semarang.
Anwar,
Teori Perkembangan Kognitif, 2007, Jakarta : EGC.
Niven, Neil.,2002, Psikologi Kesehatan. EGC. Jakarta.
Notoatmodjo,
Prof. Dr. Soekidjo, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Ed.2003. Rineka Cipta
--------------------------------------------,
2005, Metode Penelitian Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta
--------------------------------------------,2007,
Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni, Ed..Rineka
Cipta.
Sulastri,
Abstrak, www.google.com, 2010. Jakarta.
Notoatmodjo. S ,2007, Promosi
Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Cetakan I, Jakarta,
PT.
Rineka Cipta.
Powers, J. M., and Sakaguchi, R. L., 2006, Craig’s
Restorative Dental Materials,
Mosby Elseiver,St. Loui.